Kesempatan kali ini saya mau sharing tentang fenomena yang terjadi di beberapa social media ketika sebuah karya desain dihargai dari sebuah software pembuatnya bukan dari esensi kreativitasnya. “Sakitnya tuh disini…” (sambil pegang dada).
Mungkin kamu pernah mendengar komentar seperti ini
“Wah ilustrasinya bagus, bikinnya pake software apa?”
“Mas, Mba kalo bikin logo kayak gitu pake Corel, AI, atau Photoshop? Berapa lama ya? Kalo masternya cari dimana ya?”
“Wahh bagus ya itu kalo mengkilat-mengkilat itu pake efek apa di Photoshop-nya?”
Mungkin kamu sebagai si pembuat karya yang mati-matian membuat konsep, riset, sketsa, proses digitalisasi hingga akhirnya menjadi sebuah karya desain. Mendengar komentar seperti itu seperti nelen biji kedondong. Mau makin ditelen sakit, mau dikeluarin udah nanggung sakit juga, yahh serba salah kaya pake baju basah habis kena ujan, dipake dingin gak dipake masa ia gak pake baju. Tapi semua harus disikapi secara bijak. Tidak mudah memang menyamakan persepsi kita dengan persepsi orang lain, apalagi dengan banyak orang diluaran sana yang mulai mengaku desainer hanya dengan modal bisa menggunakan salah satu software desain tanpa tahu design thinking, apa kabar brainstorming, apa kabar mind mapping dan lain sebagainya yang memang harus “berproses”, atau mengaku kreatif hanya dengan membuat sebuah gambar digital yang persis seperti tutorial tanpa menggunakan teknik Amati Tiru Modifikasi.
Cara menjadi Kreatif?
Untuk jadi kreatif sebenarnya gampang, karena itu sudah ada di dalam diri masing-masing manusia, mau dia tentara, arsitek, akuntan, desainer bahkan pengangguran sekalipun yang dibutuhkan adalah pembiasaan. Edward de Bono adalah salah satu eksponen dalam pemikiran kreatif. De Bono bilang bahwa otak manusia memiliki satu keunggulan (dan sekaligus kelemahan), yaitu terprogram untuk membuat pola aktivitas berdasarkan rutinitas kita. Jadi setiap pagi memang tidak perlu pusing lagi berfikir caranya mandi, caranya memakai jam tangan, cara ngupil, cara nyisir dan lain sebagainya.
Jika aktivitas semacam ini harus ditimbang-timbang habislah waktu kita. Nah berfikir kreatif adalah sebaliknya. Kita melatih otak untuk mencari alternatif terhadap kebiasaan-kebiasaan tersebut. Kita mengajak otak untuk “mengunjungi rute yang tak lazim”, begitu kata De Bono.
Apa Fungsi Software?
Bicara soal apa itu software ini menurut Oxford Dictionaries: “Software is the programs and routines for a computer or the program material for an electronic device which make it run.”
Kalau saya pribadi bilang software itu hanya sebuah perangkat ‘penterjemah’ perintah-perintah yang dijalankan pengguna komputer untuk diteruskan ke atau diproses oleh perangkat keras yang diciptakan oleh manusia dengan segala akal pikirannya untuk memudahkan pekerjaan yang nantinya akan digunakan lagi oleh manusia itu sendiri “dengan kreativitasnya” jika dalam hal ini adalah software desain ya untuk menunjang sebuah karya desain yang estetis dan komunikatif.
Jadi peran utama dalam sebuah karya desain tetap terletak pada kemampuan kreativitas si pembuat karya/desainer dengan kemampuan menggunakan software desain sebagai alat penunjangnya.
Konklusi
Jika dalam kasus ini pertarungan antara software dan kreativitas ya memang harus dilihat konteksnya, kreativitas bisa ko menjadi software asalkan memposisikan otak sebagai hardwarenya, bagaimana kreativitas diinstal dan dibiasakan,dan software desain juga bisa mengasah kreativitas, dengan ketekunan dan rasa ingin tahu yang tinggi dan kemampuan eksplorasi dari si pembuat karya. Jadi semua hal kembali pada diri sendiri. Bahwa untuk membuat sebuah karya ada pada kemampuan kamu mengolah rasa, mengumpahkan ide kedalam sketsa lalu diteruskan kedalam sebuah gambar maya. Software itu hanya penunjang, tapi kreativitas itu mutlak.
Artikel ini ditulis oleh Dila Fatmala // CEO & Founder Avlora Studio