Menyelamatkan Desainer Grafis dari Hantaman Desain Gratis

desain grafis vs desain gratis

Dari jaman baheula, dilema desain grafis yang gratis masih saja menghantui banyak desainer grafis di Indonesia hingga saat ini. Memang dunia sudah berubah. Teknologi berkembang begitu pesat dibanding sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu, namun tak sedikit desainer grafis yang masih ‘terlunta-lunta’ dalam sebuah perjuangan mendapatkan harga yang pantas bagi profesi mereka. Ada sih sebagian orang atau klien yang sebenarnya sadar nilai sebuah kreativitas tetapi karena seringnya mendapatkan layanan free service, mereka jadi cenderung pelit. Atau sekalinya mau membayar tinggi, mereka menuntut tidak kira-kira.

Secara umum, sebenarnya desain kreatif sudah mengalami peningkatan nilai apresiasi yang terus naik dari waktu ke waktu. Artinya secara profesi seharusnya desainer grafis yang memiliki kompetensi bisa bersaing dan bisa menempati posisi strategis yang penting. Namun di Indonesia khususnya, apresiasi terbilang sangat lambat bahkan lebih sering diremehkan dan tidak dihargai sebagaimana mestinya. Atau lebih parahnya, sebuah proses desain bisa mengalami degradasi pada level ‘gratis’. 

Asal Muasal Desain Gratis

Desain gratis yang dimaksud disini lebih dari sekedar seorang teman yang minta tolong secara cuma-cuma. Namun pada industri advertising, realitas di lapangan masih banyak advertising agency yang melakukan praktek free pitching. Pokoknya asal seluruh proyek media bisa diambil, maka pekerjaan kreatif termasuk desain grafis akan diterima berapapun harganya bahkan gratis pun tidak masalah. Ini akhirnya mengubah perspektif klien yang menganggap bahwa pekerjaan kreatif memiliki nilai tidak lebih tinggi daripada ongkos cetak atau biaya konstruksi billboard. Kurangnya atensi dari industri advertising sendiri yang justru memperburuk ekosistem desain grafis.

Dari level desainer grafis sendiri, adakah peran mereka yang turut menurunkan nilai desain kreatif? Tentu ada meskipun tidak semua. Kenyataannya masih ada perusahaan desain, desainer grafis independen atau freelance yang terpaksa ikut-ikut mematok harga serendah mungkin agar tetap mendapat pekerjaan dan bisa bersaing dengan desainer grafis ‘coba-coba’ yang mematok harga desain ala kadarnya. Sebagian klien yang punya prinsip ‘yang penting murah’ tentunya akan melihat kualitas sebagai nomer dua setelah harga. Parahnya tidak sedikit desainer grafis ‘real’ yang tak kuat bertahan ditengah gempuran persaingan harga.

Transparansi dan Peran Aktif Komunitas

Ibarat senjata makan tuan, faktor-faktor dari industri kreatif sendiri yang justru menciptakan desain gratis. Kini waktunya, tak ada lagi yang disembunyikan. Biarkan klien tahu ada budget desain dan budget produksi. Jika ini dilakukan secara bersama-sama oleh para pelaku industri advertising dan desain maka diharapkan akan menjadi edukasi positif terhadap klien bahwa desain kreatif itu memiliki nilai.

Komunitas kreatif dan desainer harus bersatu padu menyamakan visi dan misi. Sekolah desain dan universitas yang memiliki jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) juga harus turut andil menyampaikan kepada masyarakat bahwa desain memiliki nilai ekonomi yang tidak kecil serta bisa meningkatkan daya saing. Klien harus menyadari eksistensi kita sebagai penyedia jasa desain dan tidak diremehkan lagi. Ke depan, perbaikan harga desain semoga tak lagi sekedar mimpi.

Ini memang tak mudah, namun tetap harus diperjuangkan!

About Arwan

Penjelajah waktu yang suka nyeruput kopi. Founder IDSN dan Locomotype. Twitter | FB | Blog | Instagram

View all posts by Arwan →